Oleh
Supadilah, S.Si*
Sekolah sebagai
tempat belajar dan menuntut ilmu seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan
dan dirindukan oleh anak-anak. Alih-alih menemukan kedamaian, banyak anak merasakan
sekolah sebagai beban.
Banyak
yang lebih senang dengan musim liburan tiba daripada masuk sekolah tiba.
Gembira dengan kalender merah daripada kalender hitam atau hijau. Datang ke
sekolah dengan berat atau terpaksa. Mereka ke sekolah karena disuruh orang tua,
daripada menganggur di rumah. Lebih senang dengan hari bebas, tidak belajar.
Kalau ada ulangan atau ujian maunya ditunda atau ditiadakan. Bersorak saat guru
rapat, tidak datang atau tidak mengajar. Senang saat akan menyambut hari Sabtu
dan Minggu tapi benci dengan datangnya hari Senin.
Ke sekolah bukannya
menjadikan pintar, malah jadi stress. Belajar bukan hal yang menyenangkan tetapi sebagai beban. Maka sekolah pun ditakuti atau dihindari. Menurut
saya, permasalahan ini bermuara pada sistem pendidikan dan paradigma sekolah
yang salah. Kita perlu melakukan perubahan agar sekolah menjadi hal yang
menyenangkan bagi siswa .
Pertama,
tidak menuntut setiap siswa untuk menguasai semua mata pelajaran. Kebanyakan
kita masih memandang bahwa setiap siswa harus mampu dan menguasai semua mata
pelajaran. Tidak semua siswa yang
berminat pada semua pelajaran terutama Matematika dan Fisika yang masih menjadi
momok bagi mereka. Untuk anak yang tidak berminat pada kedua mata pelajaran
itu, mereka tidak bisa dipaksa untuk menguasainya. Lalu kita juga masih
menganggap siswa yang cerdas adalah siswa yang pintar pada pelajaran Matematika
atau Fisika. Padahal tidak demikian. Setiap siswa cerdas pada mata pelajaran
atau bidang yang disukainya. Ini yang harus dipahami oleh sekolah.
Para
orang tua menuntut anaknya bisa juara kelas. Mereka akan kecewa jika anak gagal
pada satu atau beberapa mata pelajaran. Dikatakan bodoh jika tidak lulus pada
mata pelajaran tertentu.
Kedua,
kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan dan asas manfaat. Tidak semua materi
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Materi seperti itu sebaiknya
dihilangkan. Misalnya materi tentang Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
(SPLDV), algoritma atau integral pada pelajaran Matematika. Di Fisika misalnya
tentang kesetimbangan benda tegar, venturimeter, atau hukum Bernoulli. Materi
itu tidak ada aplikasinya dalam kehidupan. Pelajaran di sekolah juga memuat
banyak materi yang harus dipelajari. Semakin banyak yang harus dihafal.
Seharusnya materi pelajaran sedikit saja tapi dipelajari secara mendalam. Lalu ada
materi yang dipelajari di dua mata pelajaran. Contohnya Teori Kinetik Gas yang
dipelajari di Fisika dan Kimia. Tentu saja ini menambah beban bagi siswa.
Ketiga, merubah
paradigma cara belajar. Cara belajar konvensional mengharuskan siswa belajar
dalam posisi duduk tegap, tenang, tangan rapi di meja, dan mulut diam terkunci.
Padahal gaya belajar setiap orang berbeda-beda. Guru hendaknya memberikan keleluasaan kepada siswa
untuk memilih dan menggunakan gaya belajarnya. Kita mengenal ada gaya belajar
audio, kinestetik dan audio-kinestetik. Ada siswa yang bisa belajar dengan
musik, tidak bisa diam, atau sambil makan. Biarkan siswa memilih cara mereka
dalam memahami pelajaran. Tidak perlu dituntut pada satu gaya belajar pilihan
kita.
Kita
sepertinya perlu mencontoh kebijakan yang diterapkan oleh
penulis terkenal Asma Nadia tentang pendidikan anaknya. Kepada anaknya, dia
tidak mengharuskan anaknya menguasai semua mata pelajaran. Dia juga tidak marah
saat anaknya gagal pada mata pelajaran tertentu dan tidak menuntut anaknya
juara kelas. Saat ujian kenaikan kelas pun dia tidak memaksa anaknya untuk
belajar. Akan tetapi dia mengharapkan anaknya lebih serius pada saat akan
menghadapi Ujian Nasional (UN). Peluang untuk lulus UN pun sama dengan mereka
yang selama ini berkutat dengan belajar. Tapi jelas, anaknya lebih bahagia
menjalani sekolah.
Pendidikan
memang penting. Tapi lebih penting adalah membentuk moral generasi penerus
bangsa. Beban yang berat hanya akan mengebiri krativitas dan kemampuan mereka
berkreasi. Kebahagiaan dalam menjalani hidup itu yang lebih utama.
Biodata
Penulis
Supadilah.
Kelahiran Lampung, 10 November 1987, lulusan jurusan Fisika FMIPA Universitas
Andalas, Padang, Sumatera Barat. Selama kuliah aktif di organisasi mahasiswa
seperti Badan Eksekutif Mahasiswa menjabat sebagai Menteri Informasi dan
Komunikasi kabinet Kontribusi Nyata tahun 2010. Juga aktif di organisasi
kepenulisan seperti Forum Lingkar Pena Sumatera Barat, Lembaga Pustaka dan
Penerbitan Islami (LP2I) FMIPA Unand, dan Rabbani Multimedia Center tahun 2009.
Tulisannya sering dimuat di Harian Singgalang, Padang Ekspres dan Haluan di
Padang serta media online seperti www.okezone.com,
kompasiana, www.dakwatuna.com, dan
lainnya.
Penulis dapat
dihubungi di 085274393800. Facebook https://www.facebook.com/supadilah.
Dan twitter @supadilah
0 Comments