Oleh : Samson Rahman
Pimpinan Alqudwah Boarding School, Dai dan Penulis buku buku IslM
Pimpinan Alqudwah Boarding School, Dai dan Penulis buku buku IslM

Adalah suatu yang niscaya bahwa ummat ini harus memposisikan diri sebagai umat yang menawarkan middle way bagi semua urusan manusia, yakni jalan lurus (ash-shiratal al-mustaqim) yang jauh dari ekstrimisme itu. Ummat Islam dengan segala potensi ajarannya yang mengagungkan dan menjunjung tinggi moderasi adalah satu ummat yang saat ini sedang ditunggu perannya di pentas dunia di pelataran peradaban mereka. Ummat Islam diharapkan memberikan kontribusinya yang positif dalam memberikan solusi terhadap kerumitan kemanusiaan yang saat ini sedang menggelinding liar bagaikan bola salju.
Peran besar
mereka dalam sejarah perjalanan sejarah dsn peradaban umat manusia memang telah
terbukti dan telah menjadi legenda yang paling diminati oleh sejarawan dunia.
Tidak ada seorangpun yang bisa mengelak dan tidak mengakui bahwa ummat Islam
telah memberikan sumbangan besar terhadap perjalanan damai kemanusiaan.
Sumbangan itu mereka berikan di lapangan politik, ekonomi, budaya, peradaban,
ilmu pengetahuan dan sains dengan format yang demikian mengagumkan.
Ummat Islam
telah membuktikan bahwa kandungan ajaran yang ada dalam Kitab Suci Al-Quran
telah menjadi guideline yang luar biasa untuk menata dan meniti kehidupan yang
lebih baik dan bermakna. Hadits-hadits Rasul telah mampu menginspirasi dan
memberi petunjuk yang membuat ummat ini senantiasa berjalan mantap
menapakkan perannya di panggung dunia. Ummat Islam menjadi ummat paling
dikagumi dan disegani dalam jangka waktu delapan abad lamanya. Ummat Islam saat
itu menjadi “imam besar” peradaban yang menyajikan menu segar bagi kehidupan
manusia.
Moderasi Islam
telah melahirkan sebuah peradaban besar dengan spektrum yang luar biasa dan
mencengangkan dunia. Kaidah-kaidah ajaran Islam yang menampilkan moderasi
dalam formatnya yang paling indah telah menjadikannya sangat mudah diterima
oleh setiap lapisan manusia.
Moderasi dalam
Islam telah memberikan “jaminan” ruang hidup abadi pada ajaran agama ini hingga
akhir zaman. Keajegan pokok dan kelenturan dalam cabang ajaran Islam,
menjadikannya akan senantiasa mampu beradaptasi dengan situasi serumit apapun
di segala zaman dan waktu “shalehun li kulli zaman wa makan”. Ajaran-ajaran
pokok yang ajeg (tsawabit) dan cabang-cabang yang fleksibel (murunah) telah
memberikan ruang yang demikian lebar bagi adanya ijtihad dalam Islam sehingga
bisa dipastikan ajaran ini tidak mengalami kejumudan.
Moderasi Islam
yang “built in “ dalam dirinya ini Allah janjikan akan menjadikan agama ini
menjadi lebih unggul atas agama manapun, dan atas ideologi apapun yang diproduksi
oleh manusia. Allah berfirman : “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya
(dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk
dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”
(At-Taubah : 33).
“Dia-lah yang
mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar
dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi”
(Al-Fath : 28).
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci” (Ash-Shaff : 9).
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci” (Ash-Shaff : 9).
Allah dengan sangat gamblang “mengagendakan” umat ini untuk menjadi umat
penengah, dengan bekal moderasi ajaran yang ada di dalamnya. Sebagaimana yang
Allah firmankan :
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (Al-Baqarah : 143).
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (Al-Baqarah : 143).
Islam sangat menentang sikap anti-moderasi atau lebih tepatnya
ekstrimisme(ghuluw) dalam bentuk apapun. Sikap ghuluw akan menimbulkan dampak
negatif dan ekses minus bagi individu, keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.
Sikap ekstrim dalam beragama juga akan memberikan dampak negatif terhadap agama
itu sendiri dan akan menimbulkan bencana ke luar agama tadi. Ekstrimisme
(ghuluwisme) akan menyebabkan agama –dan biasanya dituduhkan kepada
Islam—menjadi pihak tertuduh munculnya disharmoni di tengah-tengah masyarakat
lokal dan international.
Ekstrimisme adalah sikap anti-moderasi dan tidak memiliki tempat dalam
norma, doktrin, wacana dan praktik Islam. Ektrimisme adalah musuh bersama dan
sangat ditentang oleh Islam. Sebagaimana yang Allah firmankan mengenai Ahli
Kitab : “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar” (An-Nisaa’ :
171) Moderasi atau wasathiyah inilah yang akan menampilkan Islam dengan
wajahnya yang damai yang menebarkan rahmat pada semesta. Moderasi yang
menawarkan kemanusiaan dalam format yang sebenarnya. Moderasi Islam senantiasa
menekankan keseimbangan antara dunia-akhirat, ruh-jasad, pikir-hati,
langit-bumi.
Ayat dan hadits
–saya sebutkan sebagian saja-- di bawah ini akan memperjelas betapa moderasi
itu menjadi substansi utama dalam ajaran Islam :
“Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”
(Al-Qashash : 77).
Ayat tadi mengingatkan kita agar tidak terlalu cenderung pada pada salah satunya, baik kehidupan dunia ataupun akhirat. Sebab kecenderungan yang tidak moderat hanya akan mematikan bagian yang lain.
Ayat tadi mengingatkan kita agar tidak terlalu cenderung pada pada salah satunya, baik kehidupan dunia ataupun akhirat. Sebab kecenderungan yang tidak moderat hanya akan mematikan bagian yang lain.
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (Al-Furqan : 67).
Dengan gamblang
Allah menekankan moderasi dalam pembelanjaan harta.
Hadits-hadits di bawah ini akan memberikan gambaran amat jelas akan betapa moderatnya Rasulullah dalam praktek kehidupannya : Orang yang terbaik diantara kalian bukanlah orang yang meninggalkan akhirat demi dunianya dan bukan pula yang meninggalkan dunia demi akhiratnya (HR. Ad-Dailami dan Ibnu Asakir).
Hadits-hadits di bawah ini akan memberikan gambaran amat jelas akan betapa moderatnya Rasulullah dalam praktek kehidupannya : Orang yang terbaik diantara kalian bukanlah orang yang meninggalkan akhirat demi dunianya dan bukan pula yang meninggalkan dunia demi akhiratnya (HR. Ad-Dailami dan Ibnu Asakir).
Oleh sebab
itulah sebab melarang hidup cara pendeta “rahbaniyah” karena itu sama artinya
dengan meninggalkan dunia. Sebaik-baik perkara adalah yang di tengah-tengah
(HR. Baihaqi). Sebaik-baik pekerjaan adalah yang pertengahan (HR.
Ad-Dailami).
Ada perkembangan
dan pertarungan pemikiran di dunia Islam yang senantiasa dinamis dan mengalami
pasang surut bersamaan dengan makin meluasnya spektrum interaksi ajaran Islam
dengan peradaban dan budaya lain. Dalam perkembangannya dinamisme pemikiran
Islam ini sering kali mengalami benturan besar diantara pemikiran-pemikiran
yang ada. Namun secara garis besar benturan pemikiran Islam itu terpolarasasi
pada dua kutub pendekatan yang sama-sama ekstrim.
Pertama,
pendekatan pemikiran over-tekstualis yang tidak memberikan ruang pada ranah
ijtihad dan aktualisasi rasio sehingga menghasilkan kejumudan yang cenderung
mengebiri rasionalitas sebagai karunia Allah yang besar. Kecenderungan
pemikiran over-tekstualis ini telah menyulitkan dinamisme-interaktif Islam
dengan dunia yang terus berkembang dan modern. Dan tentu saja menjadi kendala
bagi terlahirnya Islam yang sesuai untuk semua zaman dan tempat yang digerakkan
oleh nilai-nilai moderasi. Pemikiran Islam over-tekstualis ini akan melahirkan
romantisme berlebihan pada masa lalu tanpa melihat realita masa kini serta akan
memberikan citra buruk pada performance Islam yang sebenarnya dan memunculkan
anggapan bahwa Islam tidak mampu beradaptasi dengan dinamisme zaman. Islam akan
kehilangan spirit moderasinya yang menjadi ajaran abadi dalam dirinya.
Pengkebirian
rasio dalam kadar yang over-dosis mematikan kreasi-kreasi ijtihad dan akan
menenggelamkan kita dalam “keheningan masa lalu” yang gemerlap. Pendekatan
pemikiran semacam ini, selain berbahaya juga akan menjadi ancaman sangat
destruktif bagi dinamisme Islam dan kemampuan adaptatifnya terhadap
modernisasi.
Pendekatan
pemikiran kedua yang juga tak kalah ekstrim adalah pendekatan over-rasionalis
yang menjadikan asio sebagai hakim terhadap teks-teks suci. Penggunaan rasio
yang over-dosis ini berakibat pada pengebirian dan kenakalan-kenalan
rasionalitas terhadap teks. Ini berasal dari adanya upaya penyelarasan teks
dengan dinamisme zaman dan perkembangannya yang demikian pesat. Hanya saja
pendekatannya tidak lagi menjadikan teks sebagai sandaran utama. Sebaliknya
rasiolah yang dijadikan tumpuan penetapan benar salahnya sebuah hukum. Dari
rahim pendekatan pemikiran semacam ini telah melahirkan liberalisme pemikiran
yang dahsyat yang sering kali bukan hanya tidak sesuai dengan teks namun juga
berisi gugatan-gugatan. Liberalisme pemikiran ini berujung pada adanya
ketidakpercayaan bahwa teks-teks suci itu mampu mengakomodasi perkembangan
dunia modern yang serba kompleks. Pendekatan semacam ini selain membahayakan
Islam dan akan membuat Islam kehilangan orisinalitas (ashalah)nya dan pada saat
yang sama akan melahirkan gelombang-gelombang gugatan terhadap teks.
Penempatan rasio
sebagai hakim akan menjadikan Islam kehilangan sakralitas Kitab Suci-nya karena
ia akan senantiasa diseret-seret untuk mengikuti pendekatan rasio. Teks-teks
suci itu akan kehilangan kekudusannya saat dia “diperkosa” oleh rasionalitas.
Dan Islam –dengan pendekatan pemikiran semacam ini—akan kehilangan segalanya.
Maka dirasa
perlu pemikiran yang mampu menjembatani dua kutub pendekatan pemikiran ekstrim
ini secara benar dan proporsional agar Islam bisa terjaga orisinalitasnya dan
sekaligus mampu beradaptasi dan mengakomodasi perkembangan zaman. Untuk
menjembataninya diperlukan cara pendekaatan pemikiran moderat yang tetap saja
menjadikan teks sebagai tumpuan awal namun sama sekali tidak menutup ruang bagi
rasionalitas dan ijtihad. Tuntunan teks kita jadikan sebagai panduan awal dan
jika tidak kita dapatkan dalam teks maka rasio kita beri peluang seluas-luasnya
untuk menentukan ketetapan. Pemikiran semacam ini memiliki ciri-cirinya yang
akan kami sebutkan kemudian. Pendekatan pemikiran semacam ini akan menjadikan
Islam tidak kehilangan jati dirinya dan pada saat yang sama akan mampu
berinteraksi dan akomodatif dengan zaman.
Karakter-Karakter Dasar Pemikiran Islam Moderat
Ada beberapa
ciri dasar Islam moderat yang menjadi landasan pengambilan sikap dalam
kehidupan : Pertama, pemikiran Islam moderat tidak menjadikan akal sebagai
hakim sebagai pengambil keputusan akhir jika yang menjadi keputusan itu
berseberangan dengan nash dan pada saat yang sama tidak menafikan akal untuk
bisa memahami nash.
Kedua, pemikiran
Islam moderat memiliki sikap luwes dalam beragama. Tidak keras dan tidak kaku
dalam sesuatu yang bersifat juz’i namun pada saat yang sama tidak
menggampangkan sesuatu yang bersifat ushul (fundamental).
Ketiga,
pemikiran Islam moderat tidak pernah mengkuduskan turats (khazanah pemikiran
lama) jika jelas-jelas ada kekurangannya namun pada saat yang sama tidak pernah
meremehkannya jika di dalamnya ada keindahan-keindahan hidayah.
Keempat,
pemikiran Islam moderat merupakan pertengahan diantara kalangan filsafat
idealis yang hampir-hampir tidak bersentuhan dengan realitas dan jauh dari
sikap pragmatis yang sama sekali tidak memiliki idealisme.
Kelima,
pemikrian Islam moderat adalah sikap pertengahan antara filsafat liberal yang
membuka kran kebebasan tanpa batas kepada setiap individu walaupun mengorbankan
kepentingan masyarakat dan jauh dari sikap over-sosial dengan mengorbankan sama
sekali kepentingan individu. Pemikiran Islam moderat bersikap lentur dan
senantiasa adaptatif dalam sarana namun tetap kokoh dan ajeg sepanjang
menyangkut masalah prinsip dan dasar.
Keenam,
pemikiran Islam moderat tidak pernah melakukan tajdid dan ijtihad dalam hal-hal
yang bersifat pokok dan jelas dalam agama dan merupakan masalah-masalah qath’i,
dan pada saat yang sama tidak setuju dengan sikap taklid berlebihan sehingga
menutup pintu ijtihad walaupun masalahnya adalah masalah kontemporer yang sama
sekali tidak terlintas dalam benak ulama-ulama terdahulu.
Ketujuh, pemikiran Islam moderat tidak pernah meremehkan nash dengan dalih maksud-maksud syariah(maqashid syariah) dan pada saat yang sama tidak mengabaikan maksud syariah dengan dalih menjaga nash.
Ketujuh, pemikiran Islam moderat tidak pernah meremehkan nash dengan dalih maksud-maksud syariah(maqashid syariah) dan pada saat yang sama tidak mengabaikan maksud syariah dengan dalih menjaga nash.
Kedelapan, pemikiran Islam moderat berbeda dengan sikap orang-orang yang
hanya mendengungkan universalisme tanpa melihat kondisi dan keadaan setempat
dan cara berpikiran yang sangat lokal sehingga tidak bisa menjalin hubungan
dengan gerakan-gerakan Islam lokal.
Kesembilan,I slam moderat tidak berlebihan dalam mengharamkan sesuatu hingga seakan-akan di dunia tidak ada yang lain kecuali yang haram dan tidak berani menghalalkan sesuatu yang jelas haram hingga seakan di dunia ini tidak ada yang haram.
Kesembilan,I slam moderat tidak berlebihan dalam mengharamkan sesuatu hingga seakan-akan di dunia tidak ada yang lain kecuali yang haram dan tidak berani menghalalkan sesuatu yang jelas haram hingga seakan di dunia ini tidak ada yang haram.
Kesepuluh, pemikiran Islam moderat terbuka terhadap peradaban manapun
namun akan senantiasa mampu mempertahankan jati dirinya tanpa mengalami erosi
orisinalitasnya. Ia bisa mengadopsi pemikiran manapun dan bahkan mampu
mengembangkannya sepanjang tidak berlawanan dengan nash yang sharih (jelas). Islam moderat akan menjadi rahmat bagi umat
Islam, umat lain dan bangsa-bangsa dunia.
0 Comments