
Saya katakan acara hebat, karena di acara itu siswa
bicara langsung kepada guru apa yang menjadi unek-uneknya tentang sekolah dan
guru. Pihak sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan apa
pun. Di awal, MC sudah mewanti-wanti agar guru akan mendengarkannya apa pun
yang disampaikan siswa. Guru harus memasang baik-baik telinganya, melapangkan
dadanya, sabar dan tidak boleh marah.
Kesempatan ini sangat langka. Mengingat, biasanya guru
yang berbicara dan siswa hanya mendengar. Bisanya, guru memerintah, siswa hanya
bisa pasrah. Namun acara ini bukan pula ajang balas dendam, atau alih profesi.
Tapi sebagai langkah dengar pendapat siswa.
Cukup banyak yang disampaikan siswa. Diantaranya ada
yang menyampaikan dengan lancar, ada pula yang dengan gemetar atau grogi. Ada
beberapa usulan dan pertanyaan dari beberapa siswa yang sempat saya catat di
handphone. Pertama, supaya memberikan dan memperlancar izin kepada siswa yang
mau mengadakan kegiatan, untuk memperlancar aktivitas organisasi sekolah.
Kedua, memahami alasan keterlambatan siswa, terutama boarding (pondok), karena banyak tanggung jawab kami.
Harusnya tanya baik-baik. Sebab, kadang mereka terlambat karena mereka
harus melakukan pembinaan kepada juniornya di boarding. Ketiga, tidak suka disinggung dengan label ‘kakak kelas’.
Ini disampaikan oleh siswa kelas XII sebagai siswa paling senior di sekolah.
Intinya mereka tidak mau label paling senior sebagai patokan mereka tidak boleh
melanggar atau berbuat salah.
Ada pula yang menanyakan tentang minimnya fasilitas
sekolah terutama fasilitas olahraga. “Lapangan badminton ada dua tapi jaringnya
cuma satu. Ada lapangan yang nggak
ada tiangnya. Biasanya kami pakai meja yang ditumpuk untuk bikin tiangnya, Pak”
“Sekolah kurang tegas dengan hukuman kepada siswa yang
melanggar. Ada siswa yang motornya pakai knalpot bising, rambut panjang, dan
rambut berwarna tapi tidak ditindak oleh sekolah” kata ketua OSIS, namanya Yogi
Sugiono.
Adanya diskriminasi perlakuan terhadap siswa. “Kami minta
adanya perlakuan yang sama antara siswa kelas X, XI dan XII. Kenapa waktu itu
kami ditegur ketika menyetel musik tapi kelas X yang nyanyi dengan suara keras
di kelas tidak diapa-apakan” kata Fahriz Romdhony. Dia adalah ketua MPK.
Penyampaian yang paling tajam sepertinya tentang
kritik terhadap kritik dan penindakan guru terhadap siswa. Siswa mengatakan
adanya sikap yang tidak enak diterima oleh mereka. Mereka menginginkan adanya
kesopanan saat menindak atau memberi hukuman. Siswa bebas menyebut dan menunjuk
siapa guru yang dimaksudkan. Tentu saja dengan bahasa yang sopan dan cara
penyampaian yang benar. Tidak sampai marah-marah atau menyudutkan guru. Guru
sebagai sosok yang lebih dewasa tentu saja menampungnya dengan hati lapang.
Di awal, guru janji akan berlapang dada, sabar, dan
tetap mendengar. Maka walaupun guru disebut langsung oleh siswa, tidak ada
yang serta merta melakukan klarifikasi atau bantahan atas penyampaian siswa.
Hanya beberapa guru yang diminta tanggapan langsung oleh siswa yang memberikan
hak jawab.
Bagi saya, kegiatan seperti ini, guru mendengar
keluhan, curhat, kritik dan saran dari siswa secara langsung, adalah pengalaman
pertama dan berkesan. Dibutuhkan kehebatan untuk menerima kritik dari siswa.
Hanya guru berjiwa besar yang sanggup menerima masukan dari siswa. Sebab tidak
jarang, guru menganggap dirinya lebih tahu segala hal daripada siswa.
Ada guru menganggap dirinya yang lebih tua selalu benar,
dan siswa selalu salah.
Kebanyakan orang lebih suka berbicara daripada
mendengarkan. Sanggup bertahan lama ngomong
berbusa-busa namun tidak sabar untuk mendengarkan. Nah, kali ini kami sebagai
guru belajar mendengar siswa. Tentunya tidak hanya telinga saja yang dipakai
namun juga hati terbuka lebar dengan apa yang mereka sampaikan.
Kepala sekolah kami sangat bijaksana. Hanya kepala
sekolah yang berhak menanggapi (tanpa diminta) dan memberikan komentar. Diawal,
kepala sekolah mengapresiasi keberanian siswa dalam menyampaikan pendapat,
masukan dan kritik.
“Kita ini adalah sama-sama orang dewasa. Tentunya tahu
bagaimana bersikap. Bahwa yang dilakukan oleh guru semata-mata menempatkan diri
sebagai orang tua agar anaknya tidak salah langkah. Agar diberikan izin,
perbaiki komunikasinya. Jelaskan dengan cara baik-baik dengan alasan yang
benar. Tidak ada niat menghalang-halangi niat untuk kebaikan. Keterlambatan tidak
akan dikenai sanksi yang tidak benar jika jelas alasan keterlambatannya. Begitu
juga dengan guru, hendaknya melakukan tabayun
atau pengecekan terhadap siswa yang terlambat”
“Guru juga tidak akan pilih kasih memperlakukan siswa.
Namun tentunya siswa juga harus mawas diri. Supaya menghindari berulang kali
melakukan kesalahan yang sama. Biasakan tidak ribut di mushala. Sebab ada guru
yang melakukan pendekatan dengan lembut ada juga yang langsung memberikan
teguran”
“Hendaknya kita tidak tersinggung, ketika memang kita
abai dengan peraturan yang disepakati di sekolah. Kalau ada siswa melanggar dan
kelihatannya dibiarkan, sebenarnya itu bukan didiamkan. Kelonggaran sebagai
bentuk humanis guru, memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri dan
menyelesaikan masalah”.
Kepala sekolah juga menyampaikan maaf jika ternyata
tidak bisa memahami siswa secara utuh dan mendalam. “Guru juga tidak selamanya
benar. Para guru masih belajar menjadi sosok orang tua yang 100 persen untuk
kalian”.
Saya dalam hati mengiyakan ucapan kepala sekolah.
Kepala saya angguk-angguk mendengar penuturannya. Saya tidak merasa dibela oleh
kepala sekolah. Juga tidak merasa tidak salah dalam berinteraksi dengan siswa.
Dalam hati saya merasa, mendidik anak memang banyak dinamikanya. Sikap guru pun
kadang berubah. Suatu saat bijaksana, saat yang lain bisa ceroboh. Di suatu
waktu baik kepada siswa, di waktu yang lain, bisa saja guru sedang memikirkan
banyak masalah yang terbawa di sekolah. Sikap yang paling bijak adalah guru dan
siswa sama-sama berpikir positif dan mencari jalan tengah atas permasalahan
yang ada.
Penulis
adalah guru di SMA Terpadu Al-Qudwah, Kalanganyar, Lebak, Banten.
0 komentar:
Post a Comment